Dikutip dalam sebuah buku berjudul Al-Munkidz Min Adh-Dhalal (penyelamat dari kesesatan) ditulis oleh Imam Abu Hamid Al-Ghazali, meninggal tahun 505 hijrah bertepatan dengan 1111 masehi. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ
Ketika itu Al-Ghazali mencapai puncak popularitasnya, ditandai dengan pengikutnya saat ceramah di Baghdad hingga mencapai 70.000 jamaah yang hadir.
Selain itu Al Ghazali juga menjadi rektor di Universitas Nizamiyah, waktu itu rajanya bernama Nizamul Muluk umurnya 37 tahun.
Saat karir di tengah masyarakat sangat populer dan di tengah kampus sampai pada puncaknya datanglah penyakit galau hingga membuat hati gelisah, hingga pada akhirnya dia berpikir untuk apa semua ini! “Jabatan dan popularitas”.
Kegelisahan tersebut membawa Al-Ghazali pergi ke sebuah sungai, di tepi sungai dia melihat kayu yang bengkok tetapi setelah diangkatnya kayu tersebut ternyata lurus.
Betapa mata ini menipu, mata tidak benar melihat sesuatu, berapa banyak kita tertipu oleh mata.
Kejadian tersebut membuat Al-Ghazali ragu dengan panca indranya, kalau begitu mataku ini tidak benar, telingaku tidak benar, dan akalku pun tidak benar. Itulah sebabnya Al-Ghazali masuk ke dalam tasawuf.
Sebelum mendalami tasawuf Al-Ghazali adalah seorang pemikir yang luar biasa hingga membantah filsafat habis-habisan. “Akal itu semu” maka dia bantah filsafat dengan menulis buku Tahafut Al-Falasifah (Jatuhnya filsafat), Dia juga membantah Syiah dengan menulis buku Fadhaih Al Bathiniyah, dan banyak membantah pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai.
Sampai pada akhirnya memutuskan untuk berkelana, 11 tahun lamanya. Kemudian menemukan apa yang dia sebut dengan ma’rifah (Ma’rifah adalah pengetahuan dari Allah SWT setelah habisnya wahyu yaitu dengan cara ilham dan ilham itu diperoleh melalui riyadhoh “Menahan makan, minum, hawa nafsu” hingga pada akhirnya sampai kepada puncak pengetahuan yang sempurna).
Dengan popularitasnya seseorang bertanya apa yang dimaksud ma’rifah itu wahai Al-Ghazali? Ia menjawab “Nurun yakdzifullahufi abdih” (Cahaya yang ditembakkan kepada seorang hamba). Ketika seseorang mampu menahan semua itu maka Allah SWT akan memberikan pengetahuan yang sempurna.
Kesimpulannya adalah bahwa segala sesuatu yang kita lihat ini belum tentu pada hakikat yang benar. Kata Sayyidina Ali “Annasu niam” manusia ini seperti orang tidur.
Kita semua ini tertidur, nanti ketika mati barulah sadar bahawa dia sebenarnya dalam keadaan tidur panjang dengan mimpi yang indah sekali, ada yang mimpi jadi presiden, ada yang jadi selebgram, ada yang jadi artis kondang, ada yang jadi kiai, ada yang jadi guru dsb.
Dan setelah mati barulah menyadari bahwa ternyata bekal yang kita bawa hanya 2 rokaat setelah sebuh, satu hari puasa di Bulan Ramadhan, satu bungkus nasi kucing karena memberi makan anak yatim yang sedang kelaparan, dan sisanya hanyalah seperti debu yang diletakkan di telapak tangan lalu dihembuskan dan hilang tidak bermakna.