Sosiologi pedesaan – Tidak ada masyarakat yang berhenti (stagnant) pada satu titik tertentu sepanjang masa. Setiap masyarakat dalam kehidupannya tentu mengalami perubahan. Jika terjadi perubahan sebagai akibat penyesuaian diri dari anggota suatu masyarakat secara penuh kesadaran, maka dibuat social change, cultural change, sociocultural adaptation and adjusment.
Perubahan Sosial
Perubahan sosial bersifat khusus, karena merupakan bagian dan perubahan kebudayaan. Sedangkan perubahan kebudayaan bersifat umum karena mencakup semua aspek kebudayaan, yakni kesenian, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Perubahan sosial itu ada yang berlangsung cepat dan ada yang berlangsung lambat sesuai dengan faktor-faktor penyebab dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Tingkat perubahan sosial itu tidak sama pada berbagai tempat, meski waktu kejadiannya bersamaan. Pola dan bentuk perubahan itu akan berbeda dari satu lokasi (pedesaan) ke tempat lain dan berbeda pula pada tiap lapisa (tingkatan masyarakat).
Singkatnya, masyarakat yang berada di pelosok desa yang sebelumnya didominasi oleh pola hidup bersahaja atau tradisionalisme agaknya tak dapat menghindarkan dirinya dari proses perubahan. Diantara perkembangan penting yang dialami masyarakat desa adalah, sekarang sudah mengenal secara akrab perdagangan modern, transportasi, elektronik, jasa, informatika, dan industri yang sebelumnya pernah dianggap asing.
Secara makro, dimensi perubahan sosial yang terjadi di pedesaan dapat mengenai nilai-nilai dan norma-norma sosial, serta pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan atau wewenang, interaksi sosial dan sebagainya.
Atau dalam kategori Himes dan Moore, dimensi perubahan sosial itu meliputi demensi perubahan struktural, dimensi kultural, dan dimensi interaksional.
Untuk mendalami fokus pembahasan tentang perubahan-perubahan sosial pedesaan tersebut, secara sistematis akan ditelaah ciri-ciri masyarakat pedesaan, ciri-ciri perubahan sosial, faktor-faktor penyebab maupun pendorong perubahan sosial di pedesaan, dan dimensi-dimensi atau bentuk-bentuk perubahan sosial yang secara riil terjadi di pedesaan.
Ciri-ciri Masyarakat Pedesaan
Guna memahami, mengukur, atau membandingkan sejauh mana perubahan sosial di pedesaan sekarang, terlebih dahulu perlu digambarkan orisinalitas masyarakat desa dalam keadaan aslinya masa lalu. Seperti telah diungkapkan beberapa literatur, ciri khas desa sebagai suatu komunitas pada masa lalu selalu dikaitkan dengan kebersahajaan (simplicity), keterbelakangan, tradisionalisme, subsistensi, dan keterisolasian.
Meskipun tak dapat di generalisasikan pada semua pedesaan pada masa sekarang, namun ada sosiolog yang berhasil mengidentifikasi ciri-ciri kehidupan masyarakat pedesaan. Sebagaimana yang dikatakan Roucek dan Warren, masyarakat pedesaan memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Mempunyai sifat homogen dalam (mata pencarian, nilai-nilai dalam kehidupan serta dalam sikap dan tingkah laku), kehidupan desa lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi. Artinya, semua anggota keluarga turut bersama-sama memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga.
- Faktor geografi sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada. Misal, keterikatan anggota masyarakat dengan tanah atau desa kelahirannya.
- Hubungan sesama anggota masyarakat lebih intim dan awet daripada kota serta jumlah anak yang ada dalam keluarga inti lebih besar. Hubungan lebih bercorak gemeinschaft daripada gesellschaft.
Berkaitan dengan karakteristik masyarakat pedesaan ini, James C. Scoff, dalam The moral economy of the peasant, menyatakan bahwa petani terutama di pedesaan pada dasarnya menginginkan kedamaian dan hubungan patron-klien paternalistik yang memberi jaminan dan keamanan sosial (social security).
Petani jarang tampil mengambil suatu keputusan yang berisiko, karena petani akan memikirkan keamanan terlebih dahulu (safety first). Kondisi seperti ini tidak dapat dipertahankan dengan masuknya pasar dan komersialisasi yang telah menggantikan hubungan patron-klien menjadi hubungan ekonomis (upah/majikan-buruh).
Meskipun demikian, untuk mengatasi masalah ekonomi, daerah pedesaan telah menemukan sendiri berbagai gotong-royong (social exchange). Gotong-royong menjadi etos subsistensi (subsistence ethics) yang melahirkan norma-norma moral, seperti adanya norma resip-rokal atau timbal-balik dalam menikmati bantuan sosial.
Faktor-faktor Pendorong Perubahan
Menurut Gillin dan Gillin, perubahan sosial merupakan suatu visi dari cara-cara hidup yang telah diterima baik karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi atau penemuan baru dalam masyarakat secara singkat.
Perubahan sosial, ungkap Samuel Koenig, menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi karena adanya sebab-sebab intern maupun ekstern.
Dalam sejarah, terdapat banyak teori yang dapat dipinjam untuk menjelaskan sebab-musabab perubahan sosial, khususnya di pedesaan. Perbedaan definisi ataupun sudut pandang dalam mengamati perubahan sosial bermuara pada tekanan atau nuansa dari beberapa variabel perubahan dan yang berubah.
Pada umumnya, semua konsep tentang perubahan itu merujuk pada suatu proses, suatu peralihan dari suatu tahapan keadaan sosial ke tahapan berikutnya setelah selang beberapa waktu. Jadi, ada faktor waktu dan faktor lain seperti kultur.
Dalam hal ini, Larson dan Rogers (1964) melihat perubahan merupakan suatu proses yang berkesinambungan dalam satu bentangan waktu tertentu dan berkaitan dengan adopsi teknologi. Mereka melihat ada 3 tahapan utama dalam proses perubahan sosial.
Pertama, berawal dari diciptakannya atau lahirnya sesuatu, misalnya cita-cita atau kebutuhan yang berkembang menjadi gagasan (idea, concept) yang baru. Bila gagasan itu sudah menggelinding seperti roda berputar pada sumbunya dan tersebar di masyarakat, proses perubahan itu pun sudah mulai memasuki tahapan kedua.
Tahapan ketiga disebut (result, consequences) yang merupakan perubahan yang terjadi dalam suatu sistem sosial sebagai akibat diterima atau ditolaknya suatu inivasi. Perubahan sosial itu meliputi perubahan sikap, pengalaman, persepsi masyarakat, dan bahkan merupakan refleksi dari perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat.
Secara berbeda, Selo Soemardjan (1964) cenderung melihat perubahan sosial sebagai proses yang berkembang dari pranata-pranata sosial. Perubahan tersebut akan memengaruhi sistem sosial, adat, sikap, dan pola perilaku kelompok pada kehidupan sosial dan ekonomi baru di masyarakat.
Dapat dicontohkan, pengaruh adopsi teknologi terlihat menonjol memengaruhi perubahan persepsi, sikap, dan perilaku sosial para petani kita, terutama di pedesaan, hampir setiap tempat di Indonesia, sebagai hasil dari revolusi hijau (green revolution). Adopsi ini misalnya adalah pemakaian berbagai bibit unggul, jenis pupuk buatan pabrik kimia, petisida, herbisida, dan perbaikan teknologi pascapanen.
Revolusi ini kemudian diikuti pula oleh revolusi biru (blue revolution) yakni teknologi pembudidayaan berbagai jenis hewan air, seperti ikan air tawar dan udang. Revolusi itu membawa perubahan sosial ekonomi yang mencolok, termasuk juga perubahan sistem usaha tani, sistem pemilikan tanah, sistem produksi, dan berpengaruh pula pada pola hubungan antara manusia dan tanah.